13 MASALAH PENGELOLAAN
KEUANGAN NEGARA DAN DAERAH
Reformasi Tata Kelola
Keunagan Daerah sudah digulirkan
Reformasi tata kelola
keuangan negara/daerah telah digulirkan oleh pemerintah pusat, yang merupakan
langkah maju khususnya dalam menata sistem pemerintahannya. Reformasi tata
kelola keuangan negara/daerah secara ideal tidak hanya mencakup reformasi akuntansi
keuangannya. Namun demikian, reformasi akuntansi sektor publik merupakan
sesuatu yang sangat fundamental khususnya bagi pengelolaan keuangan daerah.
Reformasi ini, secara substantif mengandung pengertian pengelolaan
sumber-sumber daya daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan
akuntabel dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan daerah.
Paket Undang-undang
bidang Keuangan Negara telah memberikan landasan/payung hukum di bidang
pengelolaan dan administrasi keuangan negara/daerah. Undang-undang ini
dimaksudkan pula untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, kepada daerah telah diberikan kewenangan
yang luas, demikian pula dana yang diperlukan untuk menyelenggarakan kewenangan
itu. Agar kewenangan dan dana tersebut dapat digunakan dengan sebaik-baiknya
untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah, diperlukan kaidah-kaidah
sebagai rambu-rambu dalam pengelolaan keuangan daerah.
Otonomi Daerah merupakan
upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan daerah secara lebih
leluasa dan bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya yang dimiliki sesuai
dengan kepentingan, prioritas, dan potensi daerah sendiri. Kewenangan yang
luas, utuh dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
pengendalian dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan ini, pada akhirnya
harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi wewenang dan masyarakat. Penerapan
otonomi daerah seutuhnya membawa konsekuensi logis berupa pelaksanaan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah berdasarkan manajemen
keuangan yang sehat. Oleh karena itu, diperlukan sistem pengelolaan keuangan
daerah yang baik dalam rangka mengelola dana APBD secara transparan, ekonomis,
efisien, efektif dan akuntabel.
Dalam perundang-undangan
bidang keuangan negara ini secara tegas diatur bagaimana Pemerintah Daerah
menata sistem pemerintahan khususnya di bidang keuangan. Undang-undang ini
mengatur mengenai asas umum perbendaharaan negara, kewenangan pejabat pengelola
keuangan negara, pelaksanaan pendapatan dan belanja negara/daerah, pengelolaan
uang, piutang dan utang negara/daerah, pengelolaan investasi dan barang milik
negara/daerah, penatausahaan dan pertanggungjawaban APBN/APBD, pengendalian
intern pemerintah, penyelesaian kerugian negara/daerah, serta pengelolaan
keuangan badan layanan umum. Penyusunan RAPBD dengan pendekatan prestasi kerja,
penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah, penyajian Neraca Daerah dan Laporan
Arus Kas sebagai bentuk pertanggungjawaban Kepala Daerah, merupakan beberapa
hal baru yang diamanahkan dalam peraturan tersebut.
Urgensi UU NO 17 Tahun
2003
Berdasarkan UU No.17
tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 31, Gubernur/Bupati/Walikota harus
membuat pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dalam bentuk laporan keuangan yang
telah diaudit oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Laporan keuangan ini terdiri atas Laporan Realisasi
APBD, Neraca, Laporan Arus Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan. Hal ini
menuntut kemampuan manajemen pemerintahan daerah untuk mengalokasikan sumber
daya secara efisien dan efektif. Kemampuan ini memerlukan informasi akuntansi
sebagai salah satu dasar penting dalam pengambilan keputusan alokasi sumber
daya ekonomis. Laporan-laporan ini dapat dihasilkan dengan diterapkannya suatu
sistem dan prosedur akuntansi yang integral dan terpadu dalam pengelolaan
keuangan daerah. Dengan demikian laporan-laporan di atas dapat dihasilkan
dengan diterapkannya suatu Sistem Informasi Akuntansi Keuangan Daerah (SIAKD)
yang terintegrasi dengan sistem-sistem lain dalam manajemen keuangan daerah.
Berdasarkan
Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara pasal 51 ayat (2),
Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku Pengguna Anggaran harus
menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas
dana, termasuk transaksi pendapatan dan belanja, yang berada dalam tanggung
jawabnya. Hal ini berarti bahwa setiap SKPD harus membuat laporan keuangan unit
kerja. Pasal 56 UU ini menyebutkan bahwa laporan keuangan yang harus dibuat
setiap unit kerja adalah Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas
Laporan Keuangan, sedangkan yang menyusun laporan arus Kas adalah Kepala Satuan
Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum daerah.
Sistem Akuntansi Keuangan Daerah harus ditunjang dengan pembenahan tata
kelola keuangan daerah lainnya, yang mendukung upaya penyempurnaan sistem.
Sumber daya manusia pelaksana sistem harus diberikan pemahaman yang memadai,
pengguna laporan keuangan (stakeholders) juga harus memahami peran dan
fungsinya, serta bagaimana memanfaatkan laporan keuangan. Elemen masyarakat
harus memahamai alur sistem secara global, sehingga mereka akan lebih sadar
akan hak dan kewajibannya. Para eksekutif di pemerintah daerah harus memiliki
pengetahuan tentang bagaimana memanfaatkan laporan-laporan internal yang dapat
dihasilkan dari sistem akuntansi.
Sistem Pengelolaan
Keuangan Daerah
1. Dasar Hukum
Yang
mendasari perundang-undangan penting yang melandasai pelaksanaan
pengelolaan
keuangan daerah sebagai berikut :
1. UU
No. 20 Tahun 1999 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
2. UU
No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan daerah;
3. UU
No. 1 Tahun 2004 tentang perbedaharaan
4. UU
No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara;
5. UU
No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
6. UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;
7. UU
No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah;
8. PP.
No 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah;
9. PP
No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah;
10.
PP No. 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang telah diubah dengan PP No. 37 Tahun
2005, PP No. 37 Tahun 2006 dan PP No. 21 Tahun 2007;
11.
PP No. 14 Tahun 2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah;
12.
PP 23 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan;
13.
PP No. 24 Tahun 2005 Standar Akuntansi Pemerintahan
14.
PP No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah;
15.
PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan;
16.
PP No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah;
17.
PP No. 57 Tahun 2005 tentang Hibah Kepada Daerah;
18.
PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;
19.
PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Estándar Pelayanan
Minimal;
20.
PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah;
21.
PP No. 8 Tahun 2006 tentang Laporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah;
22.
Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
23.
Permendagri No. 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik
Daerah
24.Permendagri
No. 23 Tahun 2007 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan atas Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah;
25.Permendagri
No. 24 Tahun 2007 tentang Pedoman Pemeriksaaan dalam rangkaberakhirnya Masa
Jabatan Kepala Daerah;
26.
Permendagri No. 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan Masyarakat
di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah;
27.
Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Peraturan Menteri Dalam Negara
No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
PEMBARUAN TATA KELOLA
KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH
Perubahan pendekatan akuntansi pemerintah daerah dari single entry menuju double
entrymerupakan perubahan yang cukup revolusioner. Kesiapan SDM daerah
khususnya di Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (Badan Pengelola Keuangan
Daerah) umumnya kurang memiliki latar belakang bidang akuntansi. Oleh karena
itu, penerapan pendekatan baru ini relatif akan menghadapi banyak kendala yang
cukup besar di daerah. Meskipun pemerintah daerah sudah memiliki software
akuntansi pemerintah bagi daerahnya, namun demikian karena penguasaan terhadap
akuntansi masih belum memadai, maka kualitas laporan keuangan yang dihasilkan
juga menjadi tidak memenuhi kaidah pelaporan keuangan normatif sesuai yang
disyaratkan Standar Akuntansi Pemerintahan.
Sistem pengelolaan keuangan yang
transparan dan akuntabel itu sudah menjadi kebutuhan dalam rangka terciptanya good
governance dan clean government yang menjadi simbol
reformasi pemerintahan secara umum. Untuk itu upaya percepatan terhadap
keberhasilan pembaruan (reformasi) manajemen keuangan bagi pemerintah daerah
sudah selayaknya mendapat perhatian serius... Pengelolaan keuangan daerah sering menghadapi masalah ketika perencanaan
dan penganggaran tidak dilakukan dan berjalan dengan baik. Gagal dalam
merencanakan sesungguhnya merencanakan sebuah kegagalan. Tulisan berikut ini
menguraikan 13 permasalaha dalam perencanaan dan penganggaran di daerahberdasarkan.
Edy Marbyanto.
- Intervensi hak budget DPRD
terlalu kuat dimana anggota DPRD sering mengusulkan
kegiatan-kegiatan yang menyimpang jauh dari usulan masyarakat yang
dihasilkan dalam Musrenbang. Jadwal reses DPRD dengan proses Musrenbang
yang tidak match misalnya Musrenbang sudah dilakukan, baru DPRD reses
mengakibatkan banyak usulan DPRD yang kemudian muncul dan merubah hasil
Musrenbang. Intervensi legislative ini kemungkinan didasari motif politis
yakni kepentingan untuk mencari dukungan konstituen sehingga anggota DPRD
berperan seperti sinterklas yang membagi-bagi proyek. Selain itu ada
kemungkinan juga didasari motif ekonomis yakni membuat proyek untuk
mendapatkan tambahan income bagi pribadi atau kelompoknya dengan mengharap
bisa intervensi dalam aspek pengadaan barang (procurement) atau
pelaksanaan kegiatan. Intervensi hak budget ini juga seringkali
mengakibatkan pembahasan RAPBD memakan waktu panjang untuk negosiasi
antara eksekutif dan legislative. Salah satu strategi dari pihak eksekutif
untuk “menjinakkan” hak budget DPRD ini misalnya dengan memberikan alokasi
tertentu untuk DPRD missal dalam penyaluran Bantuan Sosial (Bansos)
ataupun pemberian “Dana Aspirasi” yang bisa digunakan oleh anggota DPRD
secara fleksibel untuk menjawab permintaan masyarakat. Di salah satu
kabupaten di Kaltim, dana aspirasi per anggota DPRD bisa mencapai 2 milyar
rupiah per tahun.
- Pendekatan partisipatif dalam
perencanaan melalui mekanisme musrenbang masih menjadi retorika.
Perencanaan pembangunan masih didominasi oleh: Kebijakan kepala daerah,
hasil reses DPRD dan Program dari SKPD. Kondisi ini berakibat timbulnya
akumulasi kekecewaan di tingkat desa dan kecamatan yang sudah memenuhi
kewajiban membuat rencana tapi realisasinya sangat minim.
- Proses Perencanaan kegiatan
yang terpisah dari penganggaran, Karena ketidakjelasan
informasi besaran anggaran, proses Musrenbang kebanyakan masih bersifat
menyusun daftar belanja (shopping list) kegiatan. Banyak pihak seringkali
membuat usulan sebanyak-banyaknya agar probabilitas usulan yang disetujui
juga semakin banyak. Ibarat memasang banyak perangkap, agar banyak
sasaran yang terjerat.
- Ketersediaan
dana yang tidak tepat waktu.
Terpisahnya proses perencanaan dan anggaran ini juga berlanjut pada saat
penyediaan anggaran. APBD disahkan pada bulan Desember tahun sebelumnya,
tapi dana seringkali lambat tersedia. Bukan hal yang aneh, walau tahun
anggaran mulai per 1 Januari tapi sampai bulan Juli-pun anggaran program
di tingkat SKPD masih sulit didapatkan.
- Breakdown RPJPD
ke RPJMD dan RPJMD ke RKPD seringkali tidak nyambung(match). Ada kecenderungan dokumen RPJP ataupun RPJM/Renstra SKPD
seringkali tidak dijadikan acuan secara serius dalam menyusun RKPD/Renja
SKPD. Kondisi ini muncul salah satunya disebabkan oleh kualitas tenaga
perencana di SKPD yang terbatas kuantitas dan kualitasnya. Dalam beberapa
kasus ditemui perencanaan hanya dibuat oleh Pengguna Anggaran dan
Bendahara, dan kurang melibatkan staf program sehingga banyak usulan
kegiatan yang sifatnya copy paste dari kegiatan yang lalu
dan tidak visioner.
- Kualitas
RPJPD, RPJM Daerah dan Renstra SKPD seringkali belum optimal. Beberapa kelemahan yang sering ditemui dalam penyusunan Rencana
tersebut adalah; indicator capaian yang seringkali tidak jelas dan tidak
terukur (kalimat berbunga-bunga), data dasar dan asumsi yang seringkali kurang
valid, serta analisis yang kurang mendalam dimana jarang ada analisis
mendalam yang mengarah pada “how to achieve”suatu target.
- Terlalu
banyak “order” dalam proses perencanaan dan masing-masing ingin menjadi arus utama misalnya gender
mainstreaming, poverty mainstreaming, disaster mainstreaming dll.
Perencana di daerah seringkali kesulitan untuk menterjemahkan isu-isu
tersebut. Selain itu “mainstreaming” yang seharusnya dijadikan
“prinsip gerakan pembangunan” seringkali malah disimplifikasi menjadi sector-sektor
baru, misalnya isu poverty mainstreaming melahirkan lembaga Komisi
Pemberantasan Kemiskinan padahal yang seharusnya perlu didorong adalah
bagaimana setiap SKPD bisa berkontribusi mengatasi kemiskinan sesuai
tupoksinya masing-masing. Demikian pula isu gender, juga direduksi dengan
munculnya embel-embel pada Bagian Sosial menjadi “Bagian Sosial dan
Pemberdayaan Perempuan” misalnya.
- Koordinasi
antar SKPD untuk proses perencanaan masih lemah sehingga kegiatan yang dibangun jarang yang sinergis bahkan
tidak jarang muncul egosektoral. Ada suatu kasus dimana di suatu kawasan
Dinas Kehutanan mendorong program reboisasi tapi disisi lain Dinas
Pertambangan memprogramkan ekploitasi batubara di lokasi tersebut.
- SKPD yang
mempunyai alokasi anggaran besar misal Dinas Pendidikan dan Dinas PU
seringkali tidak mempunyai tenaga perencana yang memadai. Akibatnya proses perencanaan seringkali molor. Hal ini sering
diperparah oleh minimnya tenaga Bappeda yang mampu memberikan asistensi
kepada SKPD dalam penyusunan rencana.
- APBD
kabupaten/Kota perlu evaluasi oleh Pemprop. Disisi lain Pemprop mempunyai keterbatasan tenaga untuk melakukan
evaluasi tersebut. Selain itu belum ada instrument yang praktis yang bisa
digunakan untuk evaluasi anggaran tersebut. Hal ini berakibat proses
evaluasi memakan waktu agak lama dan berimbas pada semakin panjangnya
proses revisi di daerah (kabupaten/kota).
- Kualitas hasil Musrenbang
Desa/Kecamatan seringkali rendah karena kurangnya Fasilitator Musrenbang
yang berkualitas. Fasilitasi proses perencanaan tingkat desa yang
menurut PP 72 tahun 2005 diamanahkan untuk dilaksanakan oleh Pemerintah
Kabupaten (bisa via Pemerintah Kecamatan) seringkali tidak berjalan.
Proses fasilitasi hanya diberikan dalam bentuk surat edaran agar desa
melakukan Musrenbang, dan jarang dalam bentuk bimbingan fasilitasi di
lapangan.
- Pedoman untuk Musrenbang atau
perencanaan (misal Permendagri 66 tahun 2007) cukup rumit (complicated) dan
agak sulit untuk diterapkan secara mentah-mentah di daerah pelosok
pedesaan yang sebagian perangkat desa dan masyarakatnya mempunyai banyak
keterbatasan dalam hal pengetahuan, teknologi dll.
- Dalam praktek penerapan P3MD,
pendekatan pemecahan masalah yang HANYA melihat ke AKAR MASALAH saja dapat
berpotensi menimbulkan bias dan oversimplifikasi terhadap suatu persoalan.
Contoh kasus nyata; di sebuah desa di daerah masyarakat dan pemerintah
mengidentifikasi bahwa rendahnya pengetahuan masyarakat disebabkan tidak
adanya fasilitas sumber bacaan di wilayah itu. Sebagai solusinya mereka
kemudian mengusulkan untuk dibangunkan “gedung perpustakaan”. Ternyata
setelah gedung perpustakaan dibangun, sampai beberapa tahun berikutnya
perpustakaan tersebut tidak pernah berfungsi bahkan kemudian dijadikan
Posko Pemilu. Mengapa demikian? Hal itu terjadi karena mereka hanya
berpikir soal membangun gedung, tetapi lupa berpikir dan mengusulkan
bagaimana menyediakan buku/bahan bacaan untuk perpustakaan itu, lupa
mengusulkan kepengurusan untuk mengelola perpustakaan itu dll. Kondisi
seperti diatas mungkin tidak akan terjadi kalau mereka berpikir dulu soal
“outcome” misalnya meningkatkan minat baca 50 % warga masyarakat. Dari
outcome tersebut nantinya bisa diidentifikasi output yang diperlukan
misalnya: adanya gedung perpustakaan, buku atau bahan bacaan, tenaga
pengelola perpustakaan, kesadaran masyarakat untuk datang ke perpustakaan
dll. Dari contoh kasus itu nampaknya untuk pemerintah dan masyarakat
memang perlu didorong untuk memahami alur berpikir logis (logical
framework) sebuah perencanaan. Selain itu pola pikir yang ada yang
cenderung berorientasi “Proyek” (yang berorientasi jangka pendek dan
berkonotasi duit) menjadi orientasi “Program” (orientasi jangka panjang
dan lebih berkonotasi sebagai gerakan pembangunan).
Sumber: http://rajawaligarudapancasila.blogspot.co.id/2011/05/tiga-belas-masalah-keuangan-negara-dan.html
0 komentar:
Posting Komentar