Halaman

Rabu, 28 Januari 2015

Masalah-masalah dalam pertambangan &berita faktual tentang pertambangan 2



Masalah Lingkungan Akibat Pertambangan

Masalah Lingkungan Akibat Pertambangan
Pertambangan berskala besar secara teoritis mempunyai sejumlah dampak positif bagi negara berkembang, terutama untuk menghasilkan pemasukan melalui pajak, royalti dan ekspor, menciptakan lapangan kerja serta merangsang pembangunan ekonomi lokal.
Namun, dalam praktiknya, potensi keuntungan tersebut kalah oleh dampak negatif dari pertambangan skala besar:
         Kerusakan lingkungan: pencemaran air dan udara, dan perusakan lingkungan akibat limbah buangan, adalah hal yang umum terjadi pada operasi pertambangan. Jumlah limbah sangat besar yang seringkali beracun dihasilkan (sebagai contoh, untuk menghasilkan satu ton tembaga akan tercipta 110 ton limbah) dan seringkali dibuang ke aliran sungai. Sekitar 150 kecelakaan lingkungan pertambangan terjadi antara tahun 1983 dan 2002, dimana 15 diantaranya melibatkan sianida. Badan Pelindungan Lingkungan Amerika Serikat mengatakan bahwa kontaminasi air dari pertambangan merupakan salah satu dari tiga ancaman keamanan ekologi di dunia.

         Hak asasi manusia: operasi pertambangan telah lama dikaitkan dengan pelanggaran HAM paling berat, dimana perusahaan pertambangan dituduh terlibat dalam berbagai tingkat dalam pelanggaran HAM itu. Pertambangan juga bertanggung jawab atas memburuknya konflik yang sudah ada serta menciptakan ketegangan dalam masyarakat.
         Kesehatan: Polusi debu dapat menimbulkan penyakit yang parah pada para pekerja tambang, sementara berdirinya kota-kota tambang berkaitan dengan peningkatan penyebaran HIV/AIDS. Air yang terkontaminasi dari tambang dapat menimbulkan penyakit yang ditularkan melalui air.
         Kecelakaan industri: Organisasi Buruh Inernasional (ILO) menyatakan bahwa pertambangan telah menyebabkan lebih banyak kecelakaan kerja fatal pada tenaga kerjanya dibandingkan industri lain apapun. Di Cina, 5.900 pekerja tambang batubara kehilangan nyawa mereka di tahun 2005 saja – rata-rata 16 pekerja tewas per hari. Pekerja AngloGold Ashanti yang tewas mencapai 80 orang selama dua setengah tahun hingga Juni 2007; perusahaan besar pertambangan TauTona di Afrika Selatan ditutup pada awal November 2007 setelah terjadi serangkaian kematian pekerja tambang.
         Perubahan iklim: Industri pertambangan diyakini mengkonsumsi sejumlah besar (7- 10%) produksi energi dunia. Kajian Industri Ekstraktif Bank Dunia mencatat bahwa industri ekstraktif adalah “penyumbang besar” persoalan perubahan iklim. Pemimpin Anglo American Sir Mark Moody-Stuart mengakui bahwa perusahaannya saja memiliki konsumsi energi sebesar yang dikonsumsi negara Finlandia.
Pada kasus Internasional terdapat wilayah Afrika Selatan dimana negara tersebut merupakan salah satu wilayah yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah terutama dalam hal sumber tambangnya, maka tidaklah mengherankan jika negara ini menjadi rebutan para investor tambang. Banyak sekali perusahaan-perusahaan tambang yang beroperasi di Afrika Selatan sehingga berdampak pada keadaan lingkungan yang memprihatinkan. Banyak kasus pencemaran yang terjadi, belum lagi keselamatan dan kesehatan pekerja juga kadang terabaikan sehingga kekayaan alam di Afrika Selatan di lain sisi memberi dampak negatif di balik sisi positifnya.
Perusahaan tambang yang beroperasi di Afrika Selatan salah satunya adalah Gold Field, yang merupakan pertambangan penghasil emas terbesar keempat di dunia, dengan penurunan perolehan hasil tambang  pada tahun 2012 saja pertambangan gold field mengeruk emas 3,25 juta ons pada tahun. Keuntungan yang besar tersebut seharusnya dapat memberikan perbaikan kualitas kerja dan meminimalisir kerusakan lingungan yang terjadi, namun pada tahun 2007 perusahan tambang ini mendapatkan gugatan dari ribuan pekerjanya karena menyebabkan gangguan pernapasan dan paru paru pada pekerjanya, atau yang mereka sebut dengan Silikosis (penyakit paru-paru) dimana hal itu dianggap disebabkan oleh kelalaian pihak perusahaan. Selain itu, keselamatan para pekerja kurang diperhatikan yaitu ditunjukkan dengan banyaknya kecelakaan kerja yang terjadi. Sekitar 240.000 pekerja tambang turut serta dalam mogok pertama secara nasional dan mengangkat masalah keselamatan pekerja, seperti yang diberitakan oleh BBC Indonesia seperti berikut;
“Pekerja tambang melakukan mogok kerja. Lebih dari 180 buruh tambang tewas tahun ini dalam kecelakaan tambang. Pemogokan itu diperkirakan akan menyebabkan terhentinya produksi perusahaan global, AngloGold Ashanti, Gold Fields and Harmony, dan serikat buruh berharap, perusahaan-perusahaan itu akan mengeluarkan lebih banyak anggaran untuk keselamatan pekerja. Serikat buruh juga berharap pemogokan itu akan memaksa pemerintah untuk menindak pemilik tambang yang gegabah. "Para buruh mengatakan apa yang terjadi sudah cukup. Keselamatan diperlukan," kata Erick Gcilitshana, kepala keselamatan pda Buruh Tambang yang memprakarsai mogok. "Industri ini membuat janji bohong sementara korban terus meningkat
Padahal sebenarnya dari awal perusahaan Gold Fields ini telah memiliki MoU dengan pemerintah setempat untuk senantiasa beroperasi dengan mengedepankan prinsip keamanan dan kelestarian lingkungan.
Seperti halnya kasus diatas, Ghana yang merupakan anak perusahaan gold field yang ada di Ghana juga memiliki kasus yang serupa terkait isu perusakan lingkungan. Setengah bagian dari Kabupaten Tarkwa adalah tambang besar milik Ghana, yang  mana tambang tersebut menunjukkan adanya dampak sosial dan lingkungan yang besar karena booming tambang emas. Pertambangan di sana menyebabkan 30.000 orang kehilangan tempat tinggalnya karena gusuran dari perusahaan tambang selama kurun waktu 1990-1998, sungai dan aliran air terkontaminasi, dan juga menyebabkan hancurnya pertanian dan lahan hutan. Dua-pertiga dari tanah di Tarkwa telah dijual ke perusahaan multinasional dengan kompensasi yang minim untuk pemilik setempat. Dislokasi mempengaruhi setiap aspek dari struktur sosial dan telah menyebabkan tingginya tingkat prostitusi, kenaikan angka penderita AIDS, disorganisasi keluarga dan pengangguran karena orang-orang kehilangan ladang pertanian mereka. Polisi melakukan intervensi ketika orang-orang menolak untuk meninggalkan tempat tinggal mereka dan menuntut kompensasi yang adil dari perusahaan untuk tanah, tanaman pangan, dan rumah mereka yang hilang.
Pencemaran udara dan air yang berasal dari operasi pertambangan di Tarkwa juga telah menyebar malaria, TBC, silikosis, konjungtivitis akut dan penyakit kulit. Tambang yang  menggunakan teknologi resapan tumpukan sianida (cyanide heap leach technology) dengan cara penyemprotan sianida pada bijih (ore) untuk mengekstraksi emas. Saluran-saluran dan bendungan yang difungsikan untuk menyimpan sianida sangat berpotensi mengalami kebocoran dan bahkan tidak berfungsi sama sekali. Pada bulan Juni 1996, kebocoran di Teberebie Gold fields mengirimkan 36 juta liter larutan sianida ke dalam sungai Angonaben, anak sungai dari Sungai Bonsa. Tanaman kakao dan kolam ikan hancur dan masyarakat setempat mengeluhkan adanya gejala gatal-gatal akibat penggunaan air yang telah tercemar tersebut. Para petani yang terkena sanksi menuntut perusahaan untuk kompensasi pada tahun 1997 dan kasus ini terus berlanjut.
Pada bulan Juni 2003 Pemerintah Ghana diminta perusahaan untuk mengesahkan peraturan untuk membuka ribuan hektar hutan lindung negara untuk pertambangan, jika permintaan itu tidak diloloskan maka perusahaan mengatakan akan memindahkan produksi tambangnya ke negara-negara dengan peraturan yang lebih ‘ramah’. Perusahaan telah menyatakan dengan jelas bahwa reputasi Ghana sebagai sebuah situs yang menarik bagi investasi asing bergantung pada kesediaan pemerintah yang memungkinkan mereka untuk menambang hutan. Perusahaan-perusahaan juga telah mengeluarkan rentetan propaganda pro-pertambangan dan menjanjikan bantuan materi untuk membujuk publik demi mendukung rencana tersebut.
Pertambangan (bersamaan dengan penebangan hutan, dan pembangunan-pembangunan lainnya) telah menghancurkan sebagian besar hutan lindung Ghana (hanya 12% yang tersisa), padahal sepuluh hingga dua belas ribu orang menggantungkan hidupnya pada hutan lindung secara langsung untuk mendapatkan makanan dan sebagai mata pencaharian. Sungai dan anak sungai di cagar alam yang memasok air ke banyak desa dan kota-kota telah tercemar bahan kimia beracun sehingga akan menghancurkan sistem perairan yang menyediakan air minum bagi jutaan orang di Ghana.
Perusahaan Gold Fields sendiri memiliki visi yang berdasar pada pertambangan yang berkelanjutan, artinya penambangan dilakukan dengan memepertimbangkan kelestarian sumber daya alam dan juga keadaan lingkungan di sekitarnya termasuk pada keselamatan pekerja. Namun perlu diketahui bahwa terdapat pula visi lainnya yang mendahului visi tersebut yaitu poin-poin yang menjadi dasar operasi perusahaan tersebut seperti The global Leader, Global, Sustainable Gold Mining, Gold Mining yang mana ke semua point itu justru mencerminkan sikap pertambangan yang cenderung melakukan ekspansi sebesar besarnya demi mencapai profit yang diinginkan.
Di Indonesia sendiri kasus serupa juga telah dialami, merebaknya kasus-kasus kerusakan lingkungan mulai dari yang kecil sampai ke tahap yang bersifat serius merupakan dampak dari terakumulasinya kerusakan dalam jangka waktu yang relatif lama. Berbagai faktor menjadi penyebab terjadinya kerusakan lingkungan tersebut, mulai dari perilakau individu yang tidak care terhadap alam sampai pada masalah yang ditimbulkan oleh kegiatan ekonomi (bisnis) yang mengeksploitasi alam untuk memenuhi kebutuhan manusia. Masalah-masalah terkait bisnis dan kerusakan lingkungan merupakan masalah kekinian yang patut diselesaikan sesegera mungkin, khususnya di Indonesia.
Merebaknya kasus-kasus kerusakan lingkungan mulai dari yang kecil sampai ke tahap yang bersifat serius di Indonesia merupakan dampak dari terakumulasinya kerusakan dalam jangka waktu yang relatif lama. Berbagai faktor menjadi penyebab terjadinya kerusakan lingkungan tersebut, mulai dari perilaku individu yang tidak care terhadap alam sampai pada masalah yang ditimbulkan oleh kegiatan ekonomi (bisnis) yang mengeksploitasi alam untuk memenuhi kebutuhan manusia. Semakin banyaknya industri-industri pertambangan yang mulai muncul di Indonesia, tak pelak industri pertambngan tersebut melakukan sesuatu hal yang merusak lingkungan agar mendapatkan keuntungan besar. Masalah-masalah terkait bisnis dan kerusakan lingkungan merupakan masalah kekinian yang patut diselesaikan sesegera mungkin, khususnya di Indonesia.
            Salah satu masalah kerusakan lingkungan akibat dari kegiatan ekonomi yang ada di Indonesia adalah pencemaran lingkungan di Teluk Buyat karena aktivitas pertambangan oleh PT Newmont Minahasa Raya (PT. NMR). Perusahaan tambang emas PT. NMR adalah perusahaan penanaman modal asing (PMA) yakni anak perusahaan Newmont Gold Company, USA. Bermula dari beroperasinya PT. NMR tersebut mulai bermunculan masalah-masalah terutama yang berkaitan terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan.
            Kasus pencemaran Teluk Buyat merupakan salah-satu dari sekian banyak kejahatan korporasi atau corporate crime yang terjadi di Indonesia. Kebijakan investasi pemerintah yang memberikan konsesi pada investor asing untuk mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia ternyata telah membawa dampak pada keselamatan hidup manusia maupun sistem lingkungan di sekitarnya, sebagaimana yang dialami oleh penduduk di pesisir Teluk Buyat. Teluk Buyat yang berada di Minahasa, Sulawesi Utara adalah lokasi pembuangan limbah tailing tambang PT. NMR. Karena kegiatan pertambangan skala besar oleh PT. NMR tersebut, ekosistem perairan laut di Teluk Buyat rusak parah akibat buangan tailing setiap hari. Bukan saja itu, kondisi masyarakat di sekitar Teluk Buyat yang menggantungkan hidupnya dari hasil laut dan harus bertahan hidup di wilayah tersebut karena tekanan kemiskinan harus menerima akibat dari pencemaran dan perusakan ekosistem Perairan Teluk Buyat. 
            Salah satu organisasi lingkungan yang menonjol dalam pengangkatan isu-isu lingkungan hidup di Indonesia adalah Wahana Lingkungan Hidup (WALHI). Isu tentang tailing di Teluk Buyat yang diangkat oleh WALHI adalah tailing berbahaya karena mengandung merkuri, tailing PT. NMR tidak terlindungi dengan baik karena ada proses up-welling. Tailing menyebabkan gatal-gatal, tailing menyebabkan pendapatan nelayan menurun. Hal inilah yang kemudian mendorong WALHI menggugat PT. NMR dengan tuduhan merusak lingkungan dan meresahkan masyarakat sekitar Teluk Buyat. Akan tetapi dalam persidangan, WALHI kalah dalam gugatannya tersebut.
            Menanggapi berbagai keluhan masyarakat dan kontroversi menyangkut pencemaran di Teluk Buyat tersebut, pemerintah daerah kemudian melakukan penelitian yang ditunjuk berdasarkan Surat Penunjukan (SP) Gubernur Provinsi Sulawesi Utara Nomor 3 Tahun 1999. Penelitian pertama dilakukan oleh Tim Independen yang terdiri atas beberapa peneliti Universitas Sam Ratulangi dan Pemda Sulawesi Utara. Hasil penelitian tersebut mengindikasikan adanya pencemaran sejumlah logam berat di sekitar pipa pembuangan tailing. Kesimpulan tersebut dibantah oleh pihak PT. NMR yang membiayai penelitian tersebut. PT. NMR menyangkal tailing sebagai sumber pencemaran dan menuding tambang rakyat di Sungai Totok sebagai sumber pencemaran. PT.NMR menolak hasil tersebut dan menyatakan metodologi penelitian tersebut tidak valid dan kurang memadainya peralatan laboratoriun di Universitas Sam Ratulangi.
            Hasil penelitian ini, menjadi kontroversi antara pemerintah Propinsi Sulawesi Utara dengan pihak PT. NMR. Padahal tim peneliti telah memberikan solusi kepada pihak PT. NMR untuk memperpanjang pipa pembuangan tailing ke arah laut lepas yang memiliki kedalaman di atas 100 meter jika ingin terus mempertahankan sistem pembuangan tersebut. Untuk mengatasi kontroversi tersebut akhirnya diputuskan dibentuk tim penelitian baru yaitu Tim Terpadu, yang terdiri atas pihak PT. NMR, Pemda Sulut, DPRD Sulut, dan beberapa peneliti Universitas Sam Ratulangi. Penelitian yang hasilnya dituliskan oleh pihak PT. NMR tersebut menyimpulkan bahwa kandungan sejumlah logam berat di air dan sedimen Perairan Teluk Buyat masih dalam ambang batas aman.
            Dengan adanya dua kesimpulan berbeda tersebut, terjadilah polemik di tengah publik dan pemerintah daerah. Untuk memperkuat argumenya kemudian PT. NMR, mengundang peneliti asing yaitu CSIRO (Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization) lembaga penelitian dari Australia. Dalam hasil studinya menunjukkan perairan Teluk Buyat tidak tercemar logam berat dan konsentrasi logam pada jaringan tubuh ikan berada pada kisaran normal. Hasil penelitian CSIRO ini menegaskan hasil penelitian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) / National Institute for Minamata Disease (yang dikeluarkan pada 4 Oktober 2004) dan laporan penelitian Tim Terpadu Pemerintah Indonesia (yang dikeluarkan pada 19 Oktober) menyimpulkan bahwa tidak terjadi pencemaran di perairan Teluk Buyat.

21 Desember 2007 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa WALHI tidak dapat membuktikan tuntutan pencemaran lingkungan dan pelanggaran peraturan yang diajukannya terhadap PT. NMR, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, dan Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Putusan yang dibuat atas dasar bukti-bukti yang diajukan selama persidangan kasus perdata selama lima bulan menyatakan bahwa Teluk Buyat tidak tercemar dan PT. NMR telah mematuhi seluruh peraturan dan perizinan selama kegiatan operasinya. PT. NMR dibebas-murnikan dari seluruh dakwaan dan tuntutan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan di Teluk Buyat dalam persidangan kasus pidana yang berlangsung selama 21 bulan. Dalam persidangan tersebut telah didengar kesaksian dari 63 saksi dari dalam dan luar negeri, yang kemudian dituangkan dalam putusan bebas murni setebal 279 halaman yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim (yang terdiri dari lima anggota) Pengadilan Negeri.

Sumber : 
  1. www.google.com
  2. https://www.academia.edu/6082092/Isu-Isu_Pencemaran_Lingkungan_Studi_Kasus_Politik_Pertambangan_Goldfields_dan_PT_Newmont_Minahasa_Raya

0 komentar:

Posting Komentar