Masalah Lingkungan Akibat Pertambangan
Masalah Lingkungan
Akibat Pertambangan
Pertambangan berskala besar secara teoritis
mempunyai sejumlah dampak positif bagi negara berkembang, terutama untuk
menghasilkan pemasukan melalui pajak, royalti dan ekspor, menciptakan lapangan
kerja serta merangsang pembangunan ekonomi lokal.
Namun, dalam praktiknya, potensi keuntungan tersebut kalah oleh dampak negatif dari pertambangan skala besar:
Namun, dalam praktiknya, potensi keuntungan tersebut kalah oleh dampak negatif dari pertambangan skala besar:
•
Kerusakan
lingkungan: pencemaran
air dan udara, dan perusakan lingkungan akibat limbah buangan, adalah hal yang
umum terjadi pada operasi pertambangan. Jumlah limbah sangat besar yang
seringkali beracun dihasilkan (sebagai contoh, untuk menghasilkan satu ton
tembaga akan tercipta 110 ton limbah) dan seringkali dibuang ke aliran sungai.
Sekitar 150 kecelakaan lingkungan pertambangan terjadi antara tahun 1983 dan
2002, dimana 15 diantaranya melibatkan sianida. Badan Pelindungan Lingkungan
Amerika Serikat mengatakan bahwa kontaminasi air dari pertambangan merupakan
salah satu dari tiga ancaman keamanan ekologi di dunia.
•
Hak asasi manusia: operasi pertambangan telah lama dikaitkan
dengan pelanggaran HAM paling berat, dimana perusahaan pertambangan dituduh
terlibat dalam berbagai tingkat dalam pelanggaran HAM itu. Pertambangan juga
bertanggung jawab atas memburuknya konflik yang sudah ada serta menciptakan
ketegangan dalam masyarakat.
•
Kesehatan: Polusi debu dapat menimbulkan penyakit
yang parah pada para pekerja tambang, sementara berdirinya kota-kota tambang
berkaitan dengan peningkatan penyebaran HIV/AIDS. Air yang terkontaminasi dari
tambang dapat menimbulkan penyakit yang ditularkan melalui air.
•
Kecelakaan
industri: Organisasi
Buruh Inernasional (ILO) menyatakan bahwa pertambangan telah menyebabkan lebih
banyak kecelakaan kerja fatal pada tenaga kerjanya dibandingkan industri lain
apapun. Di Cina, 5.900 pekerja tambang batubara kehilangan nyawa mereka di
tahun 2005 saja – rata-rata 16 pekerja tewas per hari. Pekerja AngloGold
Ashanti yang tewas mencapai 80 orang selama dua setengah tahun hingga Juni
2007; perusahaan besar pertambangan TauTona di Afrika Selatan ditutup pada awal
November 2007 setelah terjadi serangkaian kematian pekerja tambang.
•
Perubahan iklim: Industri pertambangan diyakini
mengkonsumsi sejumlah besar (7- 10%) produksi energi dunia. Kajian Industri
Ekstraktif Bank Dunia mencatat bahwa industri ekstraktif adalah “penyumbang
besar” persoalan perubahan iklim. Pemimpin Anglo American Sir Mark Moody-Stuart
mengakui bahwa perusahaannya saja memiliki konsumsi energi sebesar yang
dikonsumsi negara Finlandia.
Pada kasus
Internasional terdapat wilayah Afrika Selatan dimana negara tersebut merupakan
salah satu wilayah yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah terutama dalam
hal sumber tambangnya, maka tidaklah mengherankan jika negara ini menjadi
rebutan para investor tambang. Banyak sekali perusahaan-perusahaan tambang yang
beroperasi di Afrika Selatan sehingga berdampak pada keadaan lingkungan yang
memprihatinkan. Banyak kasus pencemaran yang terjadi, belum lagi keselamatan
dan kesehatan pekerja juga kadang terabaikan sehingga kekayaan alam di Afrika
Selatan di lain sisi memberi dampak negatif di balik sisi positifnya.
Perusahaan
tambang yang beroperasi di Afrika Selatan salah satunya adalah Gold Field,
yang merupakan pertambangan penghasil emas terbesar keempat di dunia, dengan
penurunan perolehan hasil tambang pada tahun 2012 saja pertambangan gold
field mengeruk emas 3,25 juta ons pada tahun. Keuntungan yang besar tersebut seharusnya dapat
memberikan perbaikan kualitas kerja dan meminimalisir kerusakan lingungan yang
terjadi, namun pada tahun 2007 perusahan tambang ini mendapatkan gugatan dari
ribuan pekerjanya karena menyebabkan gangguan pernapasan dan paru paru pada
pekerjanya, atau yang mereka sebut dengan Silikosis (penyakit paru-paru) dimana
hal itu dianggap disebabkan oleh kelalaian pihak perusahaan. Selain itu,
keselamatan para pekerja kurang diperhatikan yaitu ditunjukkan dengan banyaknya
kecelakaan kerja yang terjadi. Sekitar 240.000 pekerja tambang turut serta
dalam mogok pertama secara nasional dan mengangkat masalah keselamatan pekerja,
seperti yang diberitakan oleh BBC Indonesia seperti berikut;
“Pekerja
tambang melakukan mogok kerja. Lebih dari 180 buruh tambang tewas tahun ini
dalam kecelakaan tambang. Pemogokan itu diperkirakan akan menyebabkan
terhentinya produksi perusahaan global, AngloGold Ashanti, Gold Fields and Harmony,
dan serikat buruh berharap, perusahaan-perusahaan itu akan mengeluarkan lebih
banyak anggaran untuk keselamatan pekerja. Serikat buruh juga berharap
pemogokan itu akan memaksa pemerintah untuk menindak pemilik tambang yang
gegabah. "Para buruh mengatakan apa yang terjadi sudah cukup.
Keselamatan diperlukan," kata Erick Gcilitshana, kepala keselamatan pda
Buruh Tambang yang memprakarsai mogok. "Industri ini membuat janji
bohong sementara korban terus meningkat”
Padahal sebenarnya dari awal
perusahaan Gold Fields ini telah memiliki MoU dengan pemerintah setempat untuk
senantiasa beroperasi dengan mengedepankan prinsip keamanan dan kelestarian
lingkungan.
Seperti halnya kasus diatas, Ghana yang merupakan
anak perusahaan gold field yang ada di Ghana juga memiliki kasus yang serupa
terkait isu perusakan lingkungan. Setengah bagian dari Kabupaten Tarkwa adalah
tambang besar milik Ghana, yang mana tambang tersebut menunjukkan adanya
dampak sosial dan lingkungan yang besar karena booming tambang emas.
Pertambangan di sana menyebabkan 30.000 orang kehilangan tempat tinggalnya
karena gusuran dari perusahaan tambang selama kurun waktu 1990-1998, sungai dan
aliran air terkontaminasi, dan juga menyebabkan hancurnya pertanian dan lahan
hutan. Dua-pertiga dari tanah di Tarkwa telah dijual ke perusahaan
multinasional dengan kompensasi yang minim untuk pemilik setempat. Dislokasi
mempengaruhi setiap aspek dari struktur sosial dan telah menyebabkan tingginya
tingkat prostitusi, kenaikan angka penderita AIDS, disorganisasi keluarga dan
pengangguran karena orang-orang kehilangan ladang pertanian mereka. Polisi
melakukan intervensi ketika orang-orang menolak untuk meninggalkan tempat
tinggal mereka dan menuntut kompensasi yang adil dari perusahaan untuk tanah,
tanaman pangan, dan rumah mereka yang hilang.
Pencemaran udara dan air
yang berasal dari operasi pertambangan di Tarkwa juga telah menyebar malaria,
TBC, silikosis, konjungtivitis akut dan penyakit kulit. Tambang yang
menggunakan teknologi resapan tumpukan sianida (cyanide heap leach
technology) dengan cara penyemprotan sianida pada bijih (ore) untuk
mengekstraksi emas. Saluran-saluran dan bendungan yang difungsikan untuk
menyimpan sianida sangat berpotensi mengalami kebocoran dan bahkan tidak
berfungsi sama sekali. Pada bulan Juni 1996, kebocoran di Teberebie Gold fields
mengirimkan 36 juta liter larutan sianida ke dalam sungai Angonaben, anak
sungai dari Sungai Bonsa. Tanaman kakao dan kolam ikan hancur dan masyarakat
setempat mengeluhkan adanya gejala gatal-gatal akibat penggunaan air yang telah
tercemar tersebut. Para petani yang terkena sanksi menuntut perusahaan untuk
kompensasi pada tahun 1997 dan kasus ini terus berlanjut.
Pada bulan Juni 2003
Pemerintah Ghana diminta perusahaan untuk mengesahkan peraturan untuk membuka
ribuan hektar hutan lindung negara untuk pertambangan, jika permintaan itu
tidak diloloskan maka perusahaan mengatakan akan memindahkan produksi
tambangnya ke negara-negara dengan peraturan yang lebih ‘ramah’. Perusahaan
telah menyatakan dengan jelas bahwa reputasi Ghana sebagai sebuah situs yang
menarik bagi investasi asing bergantung pada kesediaan pemerintah yang
memungkinkan mereka untuk menambang hutan. Perusahaan-perusahaan juga telah
mengeluarkan rentetan propaganda pro-pertambangan dan menjanjikan bantuan
materi untuk membujuk publik demi mendukung rencana tersebut.
Pertambangan (bersamaan
dengan penebangan hutan, dan pembangunan-pembangunan lainnya) telah
menghancurkan sebagian besar hutan lindung Ghana (hanya 12% yang tersisa),
padahal sepuluh hingga dua belas ribu orang menggantungkan hidupnya pada hutan
lindung secara langsung untuk mendapatkan makanan dan sebagai mata pencaharian.
Sungai dan anak sungai di cagar alam yang memasok air ke banyak desa dan
kota-kota telah tercemar bahan kimia beracun sehingga akan menghancurkan sistem
perairan yang menyediakan air minum bagi jutaan orang di Ghana.
Perusahaan Gold Fields sendiri
memiliki visi yang berdasar pada pertambangan yang berkelanjutan, artinya
penambangan dilakukan dengan memepertimbangkan kelestarian sumber daya alam dan
juga keadaan lingkungan di sekitarnya termasuk pada keselamatan pekerja. Namun
perlu diketahui bahwa terdapat pula visi lainnya yang mendahului visi tersebut
yaitu poin-poin yang menjadi dasar operasi perusahaan tersebut seperti The
global Leader, Global, Sustainable Gold Mining, Gold Mining yang mana ke
semua point itu justru mencerminkan sikap pertambangan yang cenderung melakukan
ekspansi sebesar besarnya demi mencapai profit yang diinginkan.
Di Indonesia sendiri kasus
serupa juga telah dialami, merebaknya kasus-kasus kerusakan lingkungan mulai
dari yang kecil sampai ke tahap yang bersifat serius merupakan dampak dari
terakumulasinya kerusakan dalam jangka waktu yang relatif lama. Berbagai faktor
menjadi penyebab terjadinya kerusakan lingkungan tersebut, mulai dari perilakau
individu yang tidak care terhadap alam sampai pada masalah yang
ditimbulkan oleh kegiatan ekonomi (bisnis) yang mengeksploitasi alam untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Masalah-masalah terkait bisnis dan kerusakan
lingkungan merupakan masalah kekinian yang patut diselesaikan sesegera mungkin,
khususnya di Indonesia.
Merebaknya kasus-kasus
kerusakan lingkungan mulai dari yang kecil sampai ke tahap yang bersifat serius
di Indonesia merupakan dampak dari terakumulasinya kerusakan dalam jangka waktu
yang relatif lama. Berbagai faktor menjadi penyebab terjadinya kerusakan
lingkungan tersebut, mulai dari perilaku individu yang tidak care
terhadap alam sampai pada masalah yang ditimbulkan oleh kegiatan ekonomi
(bisnis) yang mengeksploitasi alam untuk memenuhi kebutuhan manusia. Semakin banyaknya industri-industri
pertambangan yang mulai muncul di Indonesia, tak pelak industri pertambngan
tersebut melakukan sesuatu hal yang merusak lingkungan agar mendapatkan
keuntungan besar. Masalah-masalah terkait bisnis dan kerusakan lingkungan
merupakan masalah kekinian yang patut diselesaikan sesegera mungkin, khususnya
di Indonesia.
Salah satu masalah kerusakan lingkungan akibat dari kegiatan ekonomi yang ada
di Indonesia adalah pencemaran lingkungan di Teluk Buyat karena aktivitas
pertambangan oleh PT Newmont Minahasa Raya (PT. NMR). Perusahaan tambang emas
PT. NMR adalah perusahaan penanaman modal asing (PMA) yakni anak perusahaan
Newmont Gold Company, USA. Bermula dari beroperasinya PT. NMR tersebut mulai
bermunculan masalah-masalah terutama yang berkaitan terhadap pencemaran dan
kerusakan lingkungan.
Kasus pencemaran Teluk Buyat merupakan salah-satu dari sekian banyak kejahatan
korporasi atau corporate crime yang terjadi di Indonesia. Kebijakan
investasi pemerintah yang memberikan konsesi pada investor asing untuk
mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia ternyata telah membawa dampak pada
keselamatan hidup manusia maupun sistem lingkungan di sekitarnya, sebagaimana
yang dialami oleh penduduk di pesisir Teluk Buyat. Teluk Buyat yang berada di
Minahasa, Sulawesi Utara adalah lokasi pembuangan limbah tailing
tambang PT. NMR. Karena kegiatan pertambangan skala besar oleh PT. NMR
tersebut, ekosistem perairan laut di Teluk Buyat rusak parah akibat buangan tailing setiap hari. Bukan saja itu, kondisi
masyarakat di sekitar Teluk Buyat yang menggantungkan hidupnya dari hasil laut
dan harus bertahan hidup di wilayah tersebut karena tekanan kemiskinan harus
menerima akibat dari pencemaran dan perusakan ekosistem Perairan Teluk Buyat.
Salah satu organisasi lingkungan yang menonjol dalam
pengangkatan isu-isu lingkungan hidup di Indonesia adalah Wahana Lingkungan
Hidup (WALHI). Isu tentang tailing di Teluk Buyat yang diangkat oleh
WALHI adalah tailing berbahaya karena mengandung merkuri, tailing
PT. NMR tidak terlindungi dengan baik karena ada proses up-welling. Tailing
menyebabkan gatal-gatal, tailing menyebabkan pendapatan nelayan menurun.
Hal inilah yang
kemudian mendorong WALHI menggugat PT. NMR dengan tuduhan merusak lingkungan
dan meresahkan masyarakat sekitar Teluk Buyat. Akan tetapi dalam persidangan,
WALHI kalah dalam gugatannya tersebut.
Menanggapi berbagai keluhan masyarakat dan kontroversi menyangkut pencemaran di
Teluk Buyat tersebut, pemerintah daerah kemudian melakukan penelitian yang
ditunjuk berdasarkan Surat Penunjukan (SP) Gubernur Provinsi Sulawesi Utara
Nomor 3 Tahun 1999. Penelitian pertama dilakukan oleh Tim Independen yang
terdiri atas beberapa peneliti Universitas Sam Ratulangi dan Pemda Sulawesi
Utara. Hasil penelitian tersebut mengindikasikan adanya pencemaran sejumlah
logam berat di sekitar pipa pembuangan tailing. Kesimpulan tersebut
dibantah oleh pihak PT. NMR yang membiayai penelitian tersebut. PT. NMR
menyangkal tailing sebagai sumber pencemaran dan menuding tambang rakyat
di Sungai Totok sebagai sumber pencemaran. PT.NMR menolak hasil tersebut dan
menyatakan metodologi penelitian tersebut tidak valid dan kurang memadainya
peralatan laboratoriun di Universitas Sam Ratulangi.
Hasil penelitian ini, menjadi kontroversi antara pemerintah Propinsi Sulawesi
Utara dengan pihak PT. NMR. Padahal tim peneliti telah memberikan solusi kepada
pihak PT. NMR untuk memperpanjang pipa pembuangan tailing ke arah laut
lepas yang memiliki kedalaman di atas 100 meter jika ingin terus mempertahankan
sistem pembuangan tersebut. Untuk mengatasi kontroversi tersebut akhirnya
diputuskan dibentuk tim penelitian baru yaitu Tim Terpadu, yang terdiri atas
pihak PT. NMR, Pemda Sulut, DPRD Sulut, dan beberapa peneliti Universitas Sam
Ratulangi. Penelitian yang hasilnya dituliskan oleh pihak PT. NMR tersebut
menyimpulkan bahwa kandungan sejumlah logam berat di air dan sedimen Perairan
Teluk Buyat masih dalam ambang batas aman.
Dengan adanya dua kesimpulan berbeda tersebut, terjadilah polemik di tengah
publik dan pemerintah daerah. Untuk memperkuat argumenya kemudian PT. NMR,
mengundang peneliti asing yaitu CSIRO (Commonwealth Scientific and Industrial
Research Organization) lembaga penelitian dari Australia. Dalam hasil studinya
menunjukkan perairan Teluk Buyat tidak tercemar logam berat dan konsentrasi
logam pada jaringan tubuh ikan berada pada kisaran normal. Hasil penelitian
CSIRO ini menegaskan hasil penelitian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) /
National Institute for Minamata Disease (yang dikeluarkan pada 4 Oktober 2004)
dan laporan penelitian Tim Terpadu Pemerintah Indonesia (yang dikeluarkan pada
19 Oktober) menyimpulkan bahwa tidak terjadi pencemaran di perairan Teluk Buyat.
21 Desember 2007 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan putusan
yang menyatakan bahwa WALHI tidak dapat membuktikan tuntutan pencemaran
lingkungan dan pelanggaran peraturan yang diajukannya terhadap PT. NMR,
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, dan Kementerian
Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Putusan
yang dibuat atas dasar bukti-bukti yang diajukan selama persidangan kasus
perdata selama lima bulan menyatakan bahwa Teluk Buyat tidak tercemar dan PT.
NMR telah mematuhi seluruh peraturan dan perizinan selama kegiatan operasinya.
PT. NMR dibebas-murnikan dari seluruh dakwaan dan tuntutan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan di Teluk Buyat dalam persidangan kasus pidana yang
berlangsung selama 21 bulan. Dalam persidangan tersebut telah didengar
kesaksian dari 63 saksi dari dalam dan luar negeri, yang kemudian dituangkan
dalam putusan bebas murni setebal 279 halaman yang dikeluarkan oleh Majelis
Hakim (yang terdiri dari lima anggota) Pengadilan Negeri.
Sumber :
- www.google.com
- https://www.academia.edu/6082092/Isu-Isu_Pencemaran_Lingkungan_Studi_Kasus_Politik_Pertambangan_Goldfields_dan_PT_Newmont_Minahasa_Raya
0 komentar:
Posting Komentar